Stakeholder pertembakauan berharap aturan tembakau dipisah dari RPP Kesehatan


Jakarta - Pemangku kepentingan atau stakeholder di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) yakni Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), serta Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman (FSP RTMM-SPSI) berharap pemerintah memisahkan aturan soal tembakau dari regulasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.

Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan mengatakan alasan pihaknya menginginkan hal tersebut karena saat ini Industri Hasil Tembakau (IHT) legal terus mengalami keterpurukan akibat berbagai dorongan regulasi yang eksesif. Penurunan itu bisa dilihat melalui realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di tahun 2023 yang tidak memenuhi target, yakni hanya mencapai Rp213,48 triliun atau 91,78 persen dari target APBN.

"Jika RPP tetap diputus dengan draf yang beredar saat ini, maka akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha IHT. Banyaknya larangan terhadap IHT, seperti bahan tambahan atau pembatasan TAR dan nikotin, akan membuat anggota GAPPRI gulung tikar,” kata Henry.

Menurut dia sudah banyak berbagai aturan pembatasan dan larangan bagi IHT, di mana setidaknya ada 446 regulasi yang mengatur IHT dengan rincian 400 regulasi berbentuk kontrol atau pengendalian dengan presentase 89,68 persen, 41 regulasi yang mengatur soal CHT atau 9,19 persen, dan hanya lima regulasi yang mengatur isu ekonomi dan kesejahteraan atau 1,12 persen.

Pihaknya juga berharap segmentasi regulasi penjualan rokok konvensional dan rokok elektrik bisa diperinci lebih jauh. Hal ini karena kedua jenis rokok tersebut memiliki ekosistem yang berbeda, serta rokok konvensional mayoritas menggunakan bahan baku dalam negeri dengan acuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Sedangkan Ketua Umum APRINDO Roy Nicholas Mandey menyampaikan, secara fundamental pihaknya mengapresiasi adanya undang-undang yang mengatur soal konsumsi tembakau dari sisi kesehatan. Namun yang menjadi catatan, perlu adanya pembahasan intens terkait larangan dan pembatasan penjualan produk turunan tembakau karena menyangkut kesejahteraan ekonomi, dan tenaga kerja yang berkecimpung dalam industri tersebut.

Salah satu pasal yang menurutnya bisa menimbulkan delik dalam hal pelaksanaan yakni adanya larangan penjualan dalam radius 200 meter di fasilitas pendidikan dan taman bermain. Ia menilai aturan tersebut merupakan pasal karet yang bisa menimbulkan salah tafsir.

“Gampang sekali dipelintir di lapangan. Akhirnya praktik di lapangan akan terjadi tahu sama tahu atau kompromi. Ini kan yang kita tidak inginkan. Nanti cost ekonomi kita jadi besar karena ada pasal karet yang dalam pelaksanaannya dimanfaatkan oknum,” ujar dia.

Sementara itu, Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI Sudarto mengatakan aturan pembatasan produk tembakau dalam RPP Kesehatan akan berdampak langsung kepada produksi industri tembakau yang dikhawatirkan bisa berpengaruh pada keberlangsungan tenaga kerja.

Pihaknya mencatat ada 142.688 pekerja dari total anggotanya yang mengadu nasib di sektor tersebut. Para pekerja itu berpotensi terkena dampak ekonomi atau bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), karena menurut dia RPP Kesehatan dapat memicu maraknya peredaran rokok ilegal yang tidak memiliki cukai, menggunakan cukai palsu, atau pelabelan cukai yang tidak sesuai peruntukannya.

“Pekerja di sektor IHT yang masuk ke dalam kategori padat karya mayoritas adalah wanita dengan pendidikan terbatas dan memiliki usia rata-rata 40 tahun. Realita saat ini, lapangan kerja saja tidak sebanding dengan angkatan kerja. Selain itu, menurut saya belum ada pekerjaan yang dapat menggantikan dengan nilai kesejahteraan yang sama yang mereka dapatkan seperti saat ini.” katanya.

Sebagai informasi, pemerintah tengah menggodok aturan turunan Undang Undang Nomor 17/2023 tentang Kesehatan berupa RPP Kesehatan terkait Pengamanan Zat Adiktif.


Penulis : Indra

Editor : Irwen