Indonesia Berpotensi Pusat Industri Panas Bumi Skala Global


Jakarta - Indonesia diyakini akan menjadi pusat industri panas bumi berskala dunia di masa depan, dilihat dari besarnya potensi panas bumi yang dimiliki.

Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), bagian dari Subholding Power and New Renewable Energy Pertamina Ahmad Yuniarto mengatakan dengan menjadi pusat industri panas bumi dunia, secara otomatis ketahanan energi yang ditopang oleh panas bumi bisa terwujud.

"Panas bumi menjadi salah satu energi baru terbarukan yang paling relevan untuk menjadi sumber daya energi utama untuk memenuhi kebutuhan nasional," katanya di Jakarta, Senin (15/8).

Menurut Ahmad, Indonesia sangat potensial untuk panas bumi karena melimpahnya sumber daya.

"Listrik yang dihasilkan dari panas bumi juga sangat stabil dan masih ada ruang agar biayanya kompetitif dan energi panas bumi sangat kompeten sebagai base load pembangkit listrik untuk sistem kelistrikan apapun," terangnya.

Lebih lanjut, untuk bisa mengejar target dekarbonisasi pengembangan panas bumi tidak bisa dilakukan biasa-biasa saja seperti sekarang. Perlu ada akselerasi ekstra dari dari pemerintah selaku regulator, tidak hanya mengandalkan pelaku usaha.

Green hydrogen, misalnya, yang menjadi produk lanjutan dari panas bumi, pengembangannya bisa memberikan efek berantai (multiplier effect) luar biasa. Namun pengembangannya membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh PGE.

"Kita bisa jadikan geothermal sebagai green economy memberikan efek terhadap Indonesia. Kondisi itu memberikan value lebih banyak ke Indonesia hanya saja bisakah kita memproyeksikan green hydrogen dengan biaya efisien," ungkapnya.

Dalam 10 tahun ke depan, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang energi bersih yang bersumber dari panas bumi hingga dua kali lipat lebih dari yang saat ini dioperasikan sendiri oleh PGE.

Pada 2030, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung PGE menjadi 1.540 MW.

“Ini artinya di tahun 2030 PGE berpotensi untuk bisa memberikan kontribusi potensi pengurangan emisi sebesar 9 juta ton CO2 per tahun, dan menargetkan menjadi tiga besar perusahaan produsen panas bumi di dunia,” tuturnya.

Sementara itu Vice President Geothermal PT PLN (Persero) Hendra Yu Tonsa Tondang mengungkapkan masalah krusial dalam pengembangan panas bumi adalah adanya gap tarif listrik dan keekonomian proyek. Hal itu sangat menentukan untuk kelangsungan panas bumi.

Menurut dia, ada beberapa instrumen untuk mengisi atau menutup gap tersebut, antara lain penerapan carbon tax, menurunkan biaya pokok produksi listrik di Indonesia Timur, insentif belanja modal, government drilling, green/clean energy fund dan penerapan teknologi yang tepat sehingga bisa meningkat success ratio proyek.

"Kita tahu sekarang pemerintah sedang melakukan eksplorasi program, goverment drilling," ungkapnya.

Menurut Hendra, tarif listrik EBT sampai sekarang masih tinggi ketimbang fosil. Untuk itu campur tangan pemerintah masih sangat dibutuhkan untuk mendorong pemanfaatan EBT secara maksimal.

"Kita membutuhkan kebijakan dari pemerintah, khususnya tarif. Ketika tarif lebih tinggi dari BPP akan meningkatkan subsidi juga kan," tegasnya. (ANT)


Penulis : Irwen