IMQ, Jakarta —
Kepopuleran cryptocurrency mengingatkan kita kepada fenomena gelembung bunga tulip di Belanda pada tahun 1635 hingga tahun 1637, insiden The South Sea Bubble atau gelembung laut selatan pada awal 1700-an yang membawa kerugian besar pada fisikawan terkenal Sir Issac Newton.
Kemudian, fenomena gelembung dotcom pada awal abad ke-21 yang “berhasil” membuat bangkrut banyak investor dan firma investasi, hingga fenomena gelembung bunga anthurium yang mewabah di Indonesia pada dekade pertama tahun 2000.
Kejadian-kejadian bubble tersebut tampaknya membuktikan bahwa teori siklus sejarah yang menyatakan bahwa sejarah bergerak melingkar dan setiap peristiwa historis akan selalu berulang kembali adalah benar adanya. Manusia terjebak dalam sebuah lingkaran sejarah yang terkesan tidak menentu yang membuat manusia tidak sadar bahwa mereka sebenarnya ada didalam fase pengulangan sejarah yang sebelumnya pernah terjadi, I’histoire Se Repete.
Di awal kemunculannya pada tahun 2009, cryptocurrency dengan basis teknologi Blockchain pertama di dunia, yaitu Bitcoin, disambut skeptis oleh pelaku pasar dan saat itu Bitcoin hanya dihargai kurang dari $3 per kepingnya. Namun setelah diketahui bahwa jumlah Bitcoin hanya akan dibuat sebanyak 21 juta keping dan digadang-gadang akan menggantikan fungsi uang di masa depan, ditambah dengan rasa penasaran dan keserakahan yang cenderung over-confidence dari para pelaku pasar, harga Bitcoin terus mengalami kenaikan hingga berada pada level yang dapat dikatakan tidak masuk akal, yaitu lebih dari 10,000% pada awal tahun 2018.
Seiring berjalannya waktu, cryptocurrency lain berbasis teknologi blockchain juga bermunculan seperti Ethereum coin, Ripple coin, Waves coin, NXT coin dan masih banyak lagi yang juga mengalami kenaikan harga yang luar biasa seperti bitcoin sejak pertama kali diluncurkan.
Sistem teknologi blockchain merupakan teknologi yang bersifat open source, yaitu di mana setiap orang dapat menggunakan dan memodifikasinya secara bebas serta gratis. Dengan sifatnya yang open source setiap orang dapat membuat cryptocurrency nya sendiri atau dengan kata lain setiap orang dapat menciptakan mata uang sendiri seperti bitcoin, bahkan dengan menggunakan sistem blockchain yang sudah well established seperti ethereum kita dapat menciptakan mata uang sendiri dengan menggunakan jaringan blockchain milik ethereum dalam hitungan menit serta membayar fee sekitar 250 ribu hingga 2,5 juta rupiah dan menentukan secara subjektif nilai per-keping mata uang digital yang baru kita ciptakan tersebut lalu menjualnya ke publik melalui skema Initial Coin Offering (ICO).
Uniknya mendapatkan uang dengan menjual mata uang ciptaan kita sendiri jauh lebih mudah dibandingkan dengan proses IPO pada bursa saham, hal ini disebabkan karena para pelaku pasar cryptocurrency memiliki anggapan setiap mata uang digital akan sama seperti bitcoin yang nilainya meroket meskipun sudah banyak peluncuran cryptocurrency yang berujung scam seperti DogeCoin.
Secara sederhana kita dapat memahami sistem teknologi blockchain sebagai teknologi revolusioner yang melakukan pencatatan desentralisasi, yaitu sebuah teknologi yang memungkinkan proses pencatatan setiap transaksi tidak lagi memerlukan server pusat untuk mencatatnya, selain itu biaya transaksi bisa ditekan menjadi jauh lebih rendah. Blockchain melibatkan setiap komputer/gadget dari setiap pengguna yang terhubung dengan jaringan internet untuk mencatat setiap transaksi yang terjadi.
Setiap satuan transaksi pada sistem blockchain disebut sebagai token dan token inilah yang disebut sebagai cryptocurrency. Token dalam blockchain tidak harus disebut sebagai cryptocurrency, tetapi dapat juga disebut sebagai cadangan inventori jika kita menggunakan sistem blockchain pada perusahaan manufaktur, sehingga kita dapat mendefinisikan token sebagai apapun tergantung kepentingan kebutuhan penggunaan sistem blockchain itu sendiri.
Dengan sifatnya yang open source maka setiap orang dapat menciptakan sendiri token-nya kapan saja dan dapat secara bebas menyebut token tersebut sebagai apa saja termasuk menyebutnya sebagai mata uang yang memiliki nilai. Pada penggunaan selain cryptocurrency, Royal Bank of Canada telah menggunakan teknologi blockchain pada sistem perbankannya, dan menjadikan token blockchain buatan mereka sendiri sebagai saldo nasabah serta perusahaan guna menerapkan pencatatan transaksi secara desentralisasi.
Dengan memahami teknologi sistem blockchain dan cryptocurrency yang tidak lain hanya merupakan token blockchain yang secara subjektif disebut sebagai mata uang yang dapat dibuat kapan saja dan oleh siapa saja, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cryptocurrency seperti bitcoin tidak lebih dari sekadar kertas kosong yang diberi nilai secara subjektif tanpa adanya underlying asset yang menjadi fundamental nilai dasarnya. Kenaikan harga bitcoin dan cryptocurrency lainnya secara signifikan saat ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman secara mendalam mengenai cryptocurrency dan keinginan untuk berspekulasi demi mendapatkan keuntungan yang cepat.
Kurangnya pemahaman secara mendalam mengenai cryptocurrency menyebabkan para pelaku pasar menganggap bahwa cryptocurrency memiliki jumlah yang benar-benar terbatas sehingga harus di beri nilai yang tinggi padahal kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Dengan sifatnya yang open source, maka siapapun akan dapat membuat mata uangnya sendiri, sehingga seiring berjalannya waktu akan makin banyak cryptocurrency baru yang akan ditawarkan yang akan mengakibatkan ekosistem cryptocurrency menjadi over supply. Ketika terjadi kondisi demikian maka harga cryptocurrency akan menurun secara perlahan hingga pada akhirnya tidak memiliki nilai sama sekali.
Menggelembungnya harga cyrptocurrency dapat kita prediksi akan berakhir seperti insiden gelembung bunga tulip di Belanda pada abad ke-17 di mana saat itu bunga tulip yang mulanya diimpor dari Kesultanan ottoman, secara cepat dihargai luar biasa tinggi seperti halnya cryptocurrency saat ini. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Belanda saat itu yang melihat kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi berlomba-lomba untuk menanam bunga tulip di negerinya, sehingga secara perlahan bunga tulip saat itu mencapai titik over supply dan bunga tulip yang semula dihargai sangat tinggi mendadak mengalami penurunan nilai secara tajam hingga tidak memiliki nilai sama sekali.
Kondisi pada abad ke-17 tersebut sangat relevan dengan menggelembungnya harga cryptocurrency saat ini, di mana ketika seperti saat ini setiap orang dapat membuat cryptocurrency sendiri maka suatu saat (kemungkinan besar dalam waktu dekat) akan menemui titik over supply yang menyebabkan gelembung harga cryptocurrency menjadi pecah dengan sendirinya.
Ketika gelembung harga cryptocurrency seperti bitcoin pecah maka akan meninggalkan teknologi yang revolusioner bernama Blockchain. Blockchain diciptakan oleh orang yang sama dengan pencipta bitcoin, yaitu Satoshi Nakamoto, seseorang yang menggunakan nama samaran yang hingga kini belum diketahui identitas aslinya. Blockchain akan digunakan secara luas di masa depan di berbagai jenis industri untuk menekan biaya, meningkatkan keamanan data pencatatan serta transaksi, dan digunakan oleh bank sentral setiap negara untuk mengubah uang kartal yang sering kita gunakan saat ini menjadi uang berbentuk digital dengan underlying asset yang jelas.
Jika kita menarik kesimpulan, cryptocurrency seperti bitcoin dan koin lainnya yang hanya memiliki nilai secara subjektif tanpa adanya underlying asset yang jelas kemungkinan besar akan mengalami crash dalam waktu yang tidak lama lagi, namun teknologi utamanya yaitu blockchain akan menjadi peninggalan berharga di masa yang akan datang sebagaimana insiden bubble dotcom pada awal tahun 2000-an yang menyebabkan krisis ekonomi, khususnya di Amerika Serikat meninggalkan inovasi luar biasa di bidang Internet yang dapat kita nikmati saat ini.
Jika crash cryptocurrency benar-benar terjadi, maka teori history circle membuktikan untuk kesekian kali tentang kebenarannya, dan hendaknya kita sebagai pelaku ekonomi dapat mengambil keuntungan dari terus bergeraknya siklus sejarah tersebut.
