IMQ, Jakarta —
Akhir pekan kelabu bagi Wall Street setelah mayoritas saham berguguran. Ini kejatuhan terparah sejak akhir Juni lalu seiring keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup anjlok 394,46 poin (2,1%), dengan seluruh saham unggulan yang berjumlah 30 masuk ke zona merah.
Saham yang mengalami penurunan terbesar, yakni 3,3%, adalah Verizon Communications Inc., kemudian disusul Boeing Co. (-3,29%) dan Caterpillar Inc. (-3,29%).
Selanjutnya, indeks S&P 500 merosot 53,49 poin (2,5%), menjadi 2.127,81, dengan 10 sektor utama di dalamnya melemah.
Saham-saham energi di indeks S&P 500 juga turun menyusul pelemahan harga minyak mentah, yang ditutup di level $45,88 per barrel.
Sedangkan indeks Nasdaq Composite ambruk 133,57 poin, atau 2,5%, menjadi 5.125,91.
Menurut catatan sejumlah analis yang dirangkum Marketwatch, pelemahan di Wall Street ini merupakan yang terbesar sejak 24 Juni 2016, yang kala itu Dow Jones jatuh 3,4%, S&P 500 anjlok 3,6% dan Nasdaq Composite terperosok 4,1%.
Pada akhir pekan ini, S&P 500 dan Dow Jones jatuh di bawah pergerakan rata-rata (moving averages) 50 hari.
Akibat aksi jual besar-besaran ini, Dow Jones melemah 2,2% dalam sepekan, S&P 500 jatuh 2,4% dan Nasdaq melorot 2,4%. Dan selama September, Dow turun 1,7%, S&P 500 2% dan Nasdaq 1,7%.
Adakah komentar Presiden Federal Reserve Boston, Eric Rosengren, yang memicu kejatuhan parah di Wall Street. Ia yang menjadi salah satu pemilik suara untuk kebijakan suku bunga The Fed, mengatakan bahwa bank sentral AS dapat melanjutkan kembali melakukan penaikan suku bunga secara bertahap seiring dengan risiko yang dihadapi AS mulai lebih seimbang. Hal itu memicu kekhawatiran investor di Wall Street bakal berakhirnya pelonggaran kebijakan moneter.
Di sisi lain, pernyataan Rosengren langsung mendongkrak Dolar AS dan juga imbal hasil (yield) Treasury note tenor 10 tahun ke level tertinggi sebelum hasil jajak pendapat Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa).
