IMQ, Jakarta —
Organisasi Angkutan Darat (Organda) tidak setuju dengan kebijakan pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi yang dilakukan pemerintah sejak 1 Agustus 2014, karena ini akan meningkatkan biaya operasional perusahaan bus.
“Pembatasan solar bersubsidi akan membebani perusahaan transportasi darat mengingat solar bersubsidi berkontribusi besar terhadap biaya operasional. Kontribusi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dalam komponen biaya operasional bisa mencapai 45%, apabila kenaikan harga solar pada malam hari menjadi Rp12.800 dari Rp5.500, atau naik 130%, ini bisa mempengaruhi tarif minimal 60%,” kata Ketua DPP Organda, Eka Sari Lorena, di Jakarta, Rabu (6/8).
Kebijakan pembatasan pembelian solar bersubsidi oleh pemerintah, menurut Eka, sangat terburu-buru, padahal hasilnya tidak akan berdampak signifikan terhadap konsumsi BBM bersubsidi secara nasional.
“Transportasi yang paling berpengaruh terhadap kebijakan ini adalah bus malam antar kota antar provinsi (AKAP). Selain tidak setuju dengan kebijakan tersebut, kami juga mempertanyakan mengapa harus solar yang notabene digunakan untuk angkutan umum penumpang yang ekonomi penggunanya lebih lemah,” paparnya.
Eka menambahkan, kebijakan ini terkesan terburu-buru dan tidak ada koordinasi dengan Organda. Kalau bicara pembatasan solar, pasti tiga institusi terkait seperti Kementerian Perhubungan, Dinas Perhubungan, dan Organda akan membicarakannya terlebih dahulu.
Pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengeluarkan kebijakan pembatasan penjualan solar bersubsidi melalui Surat Edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tertanggal 24 Juli 2014.
