IMQ, Jakarta —
Berikut beberapa poin yang menyebabkan INDF ini layak investasi, terutama jika Anda merupakan investor besar, salah satunya perusahaan selalu bertumbuh.
1. INDF memiliki sejarah yang panjang dan positif sejak 1970-an sebagai perusahaan makanan paling terkemuka di Tanah Air, di mana INDF sejauh ini senantiasa bertumbuh dan tidak pernah mengalami peristiwa buruk bahkan ketika terjadi krisis moneter 1998.
2. INDF dipimpin langsung oleh pemilik perusahaan, Anthoni Salim, yang menempati posisi sebagai direktur utama. Kalau Anda perhatikan perusahaan besar lain yang dimiliki oleh grup-grup besar, jarang ada owner perusahaan yang mau duduk di jajaran pengurus perusahaan.
3. Untuk efisiensi kinerja, INDF juga memiliki unit-unit usaha di bidang distribusi, termasuk memiliki beberapa unit kapal untuk logistik. Grup Salim juga sebenarnya memiliki banyak perusahaan di bidang ritel, sehingga untuk membuat Indomie, misalnya, Grup Salim sudah menguasai semuanya, mulai dari bahan baku tepung terigu, pabriknya, distribusinya, hingga toko-tokok yang menjual Indomie-nya, itu semua milik mereka sendiri (Indomaret dan SuperIndo itu juga milik Grup Salim). Namun, hanya unit-unit usaha distribusi yang diletakkan di bawah INDF.
4. Perusahaan rutin membayar dividen dalam jumlah wajar setiap tahunnya, yakni sekitar separuh laba bersih yang diperoleh perusahaan di tahun yang bersangkutan, dan ini menunjukkan manajemen yang berpihak kepada investor. Nilai dividen itu sendiri terus naik dari Rp45 per saham di 2008, menjadi Rp142 untuk tahun buku 2013.
5. Return on Equity (ROE) perusahaan senantiasa terjaga di level 15 - 20% setiap tahunnya, padahal ekuitas INDF naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir (terutama sejak IPO dua anak usahanya, ICBP dan SIMP). Pada 2013, laba perusahaan memang turun karena penurunan harga CPO, dan alhasil ROE-nya juga turun, tapi pada tahun-tahun yang lain, termasuk tahun 2014 ini, ROE tersebut tetap berada di level yang bisa dikatakan profitable.
"Kalau Anda perhatikan, dengan PER 10,9 dan PBV 2,5 kali pada harga saham 6.775, maka INDF adalah salah satu saham blue chip di bursa yang pada saat ini memang sedang berada pada level harga wajarnya," tutur Teguh.
Saham INDF sendiri cenderung bergerak stagnan selama setahun terakhir di rentang 6.500 dan 7.500 (INDF pernah turun hingga dibawah 6.000 pada Agustus 2013 ketika terjadi koreksi hebat pada IHSG, namun langsung naik lagi). Kejadian itu adalah karena kinerja perusahaan sepanjang 2013 masih turun akibat penurunan kinerja dari anak-anak usahanya dibidang perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya, karena turunnya harga CPO.
Pada 2012 INDF mencatat laba bersih Rp3,3 triliun, yang turun menjadi Rp2,5 triliun pada 2013. Namun karena sejak awal valuasi INDF tidak terlalu mahal untuk ukuran saham blue chip, maka sahamnya pun juga tidak lantas anjlok karenanya.
Kabar baiknya, INDF mengawali 2014 ini dengan cukup baik, di mana labanya kembali naik menjadi Rp1,4 triliun pada Kuartal I 2014, berbanding Rp722 miliar pada periode yang sama tahun 2013, atau naik 90,1%.
Kenaikan tersebut tentu saja disumbang oleh bisnis perkebunan kelapa sawit yang mulai kembali sukses menghasilkan laba yang besar setelah harga CPO mulai naik lagi (selain karena volume produksi CPO milik SIMP dan LSIP juga naik terus).
Jika tren kenaikan ini terus berjalan, maka INDF sangat menarik untuk diperhatikan, selain karena mulai tahun ini INDF memperoleh tambahan pendapatan dari China Minzhong, pada 2013 lalu pendapatan tersebut belum ada, dan itu belum termasuk potensi tambahan pendapatan dari ekspansi-ekspansi lainnya yang sedang dan akan dilakukan perusahaan.
Berbagai ekspansi yang dilakukan perusahaan selama beberapa tahun terakhir tentu saja membutuhkan dana yang besar, sehingga perusahaan memutuskan untuk melepas ICBP dan SIMP ke bursa saham untuk memperoleh dana total Rp10 triliun.
Jadi, INDF juga mengambil utang bank jangka panjang, serta yang terbaru, perusahaan kembali menerbitkan obligasi senilai Rp2 triliun untuk melunasi obligasi sebelumnya. Pada Kuartal I 2014, total liabilitas INDF tercatat Rp42 triliun, cukup besar dibanding nilai ekuitas perusahaan sebesar Rp24 triliun.
"Tapi saat ini kondisinya jelas sudah berbeda, di mana jumlah utang INDF tidak bisa lagi dikatakan sedikit," jelasnya.
Saat ini, INDF memiliki banyak anak-anak perusahaan yang beroperasi di luar negeri dan itu menurunkan risiko bisnis karena penurunan nilai tukar Rupiah, karena perusahaan-perusahaan tersebut membukukan pendapatan dan labanya dalam mata uang di negaranya masing-masing.
"Posisi INDF pada saat ini terbilang wajar, jadi kalau Anda mau mengakuisisinya, tunggu hingga harganya murah dulu, di rentang 6.000 – 6.500 di mana INDF sangat mungkin turun hingga ke posisi tersebut jika IHSG nanti turun, kemudian selanjutnya Anda bisa duduk santai menunggu dia naik sendiri," paparnya.
Target saham Rp9.000 bagi INDF terbilang realistis untuk jangka waktu 2 – 3 tahun ke depan. Risiko penurunan kinerja karena penurunan harga CPO untuk saat ini praktis sudah sangat kecil mengingat harga CPO itu sendiri sudah rendah, selain karena trennya mulai bergerak naik setelah harga CPO ‘istirahat’ selama dua tahun terakhir.
"Kabar baiknya, untuk saat ini masih belum terlambat untuk masuk ke INDF jika tujuannya adalah untuk investasi jangka panjang, let say untuk 2 – 3 tahun ke depan," ulasnya.
