Bahana: Aset Saham Menjadi Pilihan Menarik untuk Investasi


Perekonomian dunia dan Indonesia telah menunjukkan pemulihan, namun market belum bereaksi positif terhadap perbaikan tersebut.

Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menyebut ada sejumlah faktor yang memperlambat aset investasi untuk menguat.

“Pemulihan ekonomi di Amerika Serikat yang ditandai dengan beberapa indikator, seperti kenaikan inflasi, Purchasing Managing Index (PMI) survey di atas level 50 (angka netral), dan penyesuaian harga bond yield dari 0,7 ke 1,8. Hal ini telah memicu kekuatiran market terhadap potensi penghentian stimulus dari bank sentral The Fed. Market teringat pada peristiwa taper tantrum di tahun 2013. Akan tetapi, kondisi saat ini berbeda dari tahun 2013 lalu,” ungkap Budi Hikmat, dalam keterangan pers, Selasa (20/4).

Pada 2013, Pimpinan The Fed, Ben Bernanke mengumumkan bahwa The Fed akan mengurangi pembelian obligasi di masa tertentu. Hal ini diumumkan setelah ekonomi AS sempat pulih pasca krisis finansial 2008, yang memaksa The Fed untuk menggelontorkan stimulus dengan membeli surat utang (Treasury bonds) hampir US$2 triliun.

Di pasar saham Indonesia, dana asing keluar sebesar US$6 miliar sejak 2013. Indonesia juga termasuk ke dalam The Fragile Five, bersama dengan India, Afrika Selatan, Brazil, dan Turki, akibat ketergantungan negara terhadap investasi asing dan tingginya defisit transaksi berjalan yang mencapai 3% terhadap PDB pada 2013.

“Akan tetapi, kami melihat jika kondisi Indonesia saat ini jauh dari kerapuhan ekonomi di tahun 2013,” tambahnya.

Untuk strategi investasi, ia melihat aset saham berpotensi lebih besar ketimbang pasar obligasi maupun pasar uang.

“Kami melihat saat ini market bereaksi negatif terhadap sentimen positif. Meski demikian, kami melihat bahwa pasar saham akan menguat dengan melihat indikator ISLVE yang kami lihat,” ungkapnya.

Indikator ISLVE (Interest Rate - Sentiment - Valuation - Liquidity - Earning) didasari pada Interest rate (suku bunga) yang relatif rendah berpotensi memperkuat daya beli masyarakat dan berpotensi menguatkan saham-saham siklikal seperti saham properti dan otomotif. Valuasi IHSG yang cukup murah. 

“Sementara, likuiditas di pasar saham perlahan masuk namun tak kencang. Meski demikian, indikator earning masih belum terlihat menarik, dan akan melihat obligasi korporasi yang direstrukturisasi,” tegasnya.

Kepemilikan investor domestik ritel terhadap market tampaknya mendominasi IHSG, dengan kepemilikan retail investor terhadap market mencapai 21%, dan volume transaksi mencapai 75%. Sementara, asing masih belum terlihat aktif di pasar saham.

 


Editor : Irwen